.
SELAMAT DATANG DI MR-COMMUNITY

Sukses Bersama MR-Community

Bebas Uang, bebas waktu, bebas Pikiran
Anda telah mengambil suatu langkah penting untuk masa depan Anda! Kami mengerti Anda sedang mencari solusi untuk merubah dan meningkatkan finansial Anda. Umumnya, orang yang bekerja telah memiliki penghasilan yang cukup baik, tapi di sisi lain mereka tidak memiliki cukup waktu bersama dengan keluarga atau anak-anak mereka. Sementara itu, untuk beberapa orang, sebagian dari mereka tidak bekerja dan beberapa diantaranya sedang mencari suatu penghasilan tambahan yang memungkinkan mereka keluar dari masalah finansial mereka. Ataupun Anda adalah salah satu dari jutaan orang di dunia yang menyadari bahwa memiliki PEKERJAAN bukanlah jawaban untuk hidup yang berkualitas - yakni kebebasan akan waktu bersama keluarga, dan kebebasan mengatur uang.
Apakah Anda tahu, setelah orang-orang bekerja 40 tahun di kantor (usia 65 tahun):
* 1% Hidup Makmur dan sejahtera.
* 4% Memiliki cukup uang hanya untuk hidup (pas-pasan).
* 5% Terpaksa untuk tetap bekerja di usia 65 tahun.
* 54% Hidup di atau dibawah garis kemiskinan, bergantung kepada uang pensiun, atau bergantung kepada sanak saudara, keluarga atau teman.
* 36% Telah meninggal dunia.
Anda ingin berada diposisi yang mana?
5% urutan teratas adalah para Pemilik Bisnis (Business Owners), mereka mendapatkan komisi dan keuntungan; namun hanya beberapa dari 5% tersebut yang memiliki Pendidikan Profesional sehingga mendapatkan gaji bulanan Terbaik dari tempat mereka bekerja.
APA PRIORITAS UTAMA ANDA DALAM 1-2 TAHUN KEDEPAN
PENGHASILAN YANG LEBIH BESAR
MEMBAHAGIAKAN ORANG TUA
MEMILIKI USAHA SENDIRI
MEMILIKI RUMAH DAN MOBIL BARU
JALAN-JALAN KE LUAR NEGERI
MENJALANI MASA PENSIUN DENGAN TENANG
BEBAS UANG DAN WAKTU
PENDIDIKAN ANAK
MEMBANTU ORANG LAIN / KEGIATAN SOSIAL
Untuk dapat memcapai perioritas diatas kita membutuhkan Uang, dalam mencari uang biasanya Kita bekerja. Dari bekerja kita mendapatkan Uang untuk Kita pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sisanya ditabung buat Rencana Masa Depan.Itulah yang di sebut dengan "Paradigma UMUM"
Photobucket
Dimana Paradigma Umum ini mengandung resiko yg besar sekali, dimana resiko tersebut terjadi karna 2 faktor yaitu :
- Anda sendiri (kondisi kesehatan yg kurang Baik, sehingga Anda tidak bisa bekerja lagi)
- Tempat kita bekerja (PHK masal karena KRISIS GLOBAL) sehinga Anda tidak dapat bekerja (Lihat gambar Bawah)

Photobucket

ketika anda tidak bekerja apakah anda bisa mendapatkan penghasilan? "TIDAK"

itulah yang di sebut dengan paradigma umum

kami memperkenalkan Paradigma Sukses
Dimana Paradigma Sukses ini juga tetap melakukan pekerjaan, tetapi mereka bekerja membangun ASET. (Lihat gambar Bawah)
sehingga dalam 1-2 tahun Aset anda sudah terbentuk akan terlihat seperti (Gambar bawah ini)

Photobucket

Aset anda akan menghasilkan pasive income untuk anda, bukan anda bekerja untuk mencari uang.Artinya ketika anda tidak bekerjapun kita akan tetapmendapatkan penghasilan.
Perbedaan antara Paradigma Umum dan Paradigma Sukses terletak pada :

Photobucket

Orang-orang terkaya di dunia mencari dan menbangun Aset, orang-orang lain mencari pekerjaan.
Photobucket
- Robert T. Kiyosaki

Fenomena Takut Sukses

Wednesday, November 25, 2009



Sepintas fenomena takut sukses hanya pantas diberikan kepada orang yang tidak waras mengingat semua orang normal pasti menginginkan kesuksesan. Tetapi tidak demikian menurut temuan professor Schein yang hasil temuannya pernah dipublikasikan di Sloan Management Review (dalam The Interactive manager: 1995). Menurut Schein justru yang paling banyak menderita rasa takut sukses adalah orang normal.

Takut sukses adalah fenomena di mana pikiran, perasaan, dan keyakinan kita hanya bekerja untuk menghindari kemungkinan gagal dan titik. Jika kemudian “menghindari ini” dikatakan takut sukses karena kegagalan adalah jalan tunggal menuju kesuksesan. Sejauh apapun orang bisa menghindari kegagalan tetapi penghindaran itu tidak akan memperdekat dia seinci pun dengan kesuksesan. Berdasarkan pengalaman orang sukses dapat disimpulkan bahwa jika anda ingin menemukan kesuksesan tanpa kegagalan, percayalah hal itu hanya akan anda temukan di kamus.

Selain tidak memperdekat, menghindari kegagalan juga akan membuat kita menerima apa yang kita hindari sesuai hukum alam daya tarik bekerja. Kita akan menjadi sosok yang mendominiasi muatan pikiran atau apa yang mendominiasi muatan pikiran akan menarik sesuatu untuk terjadi. Kalau yang mendominasi adalah kegagalan, maka kegagalan itulah yang akan kita terima. Disadari atau tidak, rasa takut sukses telah membatasi kita untuk bergerak maju. Kita takut kehilangan pekerjaan tetapi yang kita lakukan adalah menghindari usaha memperbaiki. Kita takut dibilang tidak sosialis tetapi yang kita lakukan adalah menghindari menjadi orang kreatif di tempat kerja. Dengan praktek menghindar demikian maka logislah kalau dikatakan takut sukses

Penyebab

Ada dua alasan yang mendorong orang menghindari kegagalan. Alasan pertama adalah ketakutan (menghindari) karena diri sendiri dan alasan kedua adalah ketakutan karena orang lain. Menghindari kegagalan karena diri sendiri disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Kebiasaan. Orang yang tidak biasa menjalani gagasan orisinil dari dirinya ke tindakan nyata cenderung punya definisi lebih sempit tentang kegagalan di banding orang yang sudah biasa melakukan proses transformasi dari ide ke tindakan nyata. Kata: “Bisa karena biasa” mungkin cocok untuk menggambarkan hal ini. Para pengusaha yang sudah kenyang dengan asam-garam untung dan rugi pada umumnya lebih berani menghadapi kegagalan.

2. Kemauan. Orang yang memiliki dorongan berprestasi kuat lebih berani menghadapi risiko kegagalan oleh dirinya ketimbang orang yang memilih untuk menjadi orang “biasa-biasa” atau “baik-baik” saja. Dorongan berprestasi adalah kekuatan mendobrak dari predikat “baik-baik saja” menjadi baik (good) kemudian menjadi besar (great) atau bergerak dari eskalasi mentalitas mengambil (to take), mendapatkan (to get) ke menciptakan (to create).

3.Kemampuan. Orang yang tidak memiliki pengetahuan akurat tentang diri, orang lain, dan keadaan yang terjadi di sekitarnya secara otomatis lebih terdorong untuk menghindari kegagalan. Sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan akurat tentang diri, orang lain dan lingkungan sekitarnya akan bisa memprediksikan apa yang akan dia hadapi sehingga siap jika harus gagal. Dalam strategi peperangan, Sun Tzu mengatakan, kalau anda memiliki pengetahuan akurat tentang siapa anda dan musuh anda maka peperangan sedahsyat apapun yang akan terjadi tidak akan membuat anda takut kalah.

4. Keterbatasan. Tidak memiliki cadangan berupa dukungan materi, relasi, dan kekuasaan juga dapat membuat orang menghindari kegagalan hanya untuk menghindari. Keterbatasan ini merupakan penyebab yang sering dijadikan “pembenar” mengapa kita takut gagal hanya karena takut alias tidak “pede” menghadapi keadaan. Dale Carnegie pernah menyarankan agar orang senantiasa punya “tabungan” dalam bentuk apapun agar tidak mudah diserang oleh rasa takut sukses.

5. Kekhawatiran. Orang bisa terjangkit penyakit takut sukses karena kekhawatiran emosi yang berlebihan. Apa yang dikhawatirkan itu umumnya tidak terjadi secara riil menurut standar rasio yang logis. Orang semacam inilah yang oleh Mark Twin dikatakan orang yang tidak berani: “Courage is not the absent of fear but the mastery of fear”. Orang yang berani bukan orang yang tidak normal (tidak memiliki rasa takut) tetapi murni orang yang menguasai rasa takut. Ralph Marstone menawarkan formula, begitu anda diserang oleh rasa takut yang tidak beralasan, maka lakukan hal yang sebaliknya untuk menantang rasa takut. Hanya dengan melakukan sesuatu-lah yang akan membuat anda berubah menjadi pengontrol rasa takut.

Sementara penyebab takut sukses karena orang lain dapat dikembalikan pada kualitas keyakinan yang rendah atas:

  1. Kemampuan diri (confidence)
  2. Kebenaran pendirian hidup (faith)
  3. Kualitas untuk diyakini (trust)

Ketakutan karena orang lain adalah imajinasi yang bekerja secara negatif dan mestinya tidak muncul kalau kita yakin bahwa diri kita mampu merealisasikan kesuksesan yang kita inginkan meskipun harus gagal. Ketakutan juga tidak akan terjadi kalau kita yakin bahwa setiap kegagalan mengandung makna tertentu berupa panggilan untuk menjadi lebih jenius. Ketakutan juga tidak akan terjadi kalau kita yakin bahwa cara yang kita tempuh merealisasikan gagasan tidak melanggar nilai dan hukum apapun. Dalam praktek, hidup ini penuh dengan tawaran tipu daya berupa imajinasi kita tentang orang lain dan hanya bisa diselesaikan apabila kita kembali pada esensi, “Who we are”. Sedikit saja esensi itu kita lepaskan, tipuan tersebut akan menyeret pada lingkaran persoalan imajinatif yang tidak berujung.

Mahamami Perbedaan

Merujuk pada ajaran Hukum Alam bahwa semua makhluk yang diciptakan di alam raya ini pastilah ada gunanya. Demikian pula berlaku pada rasa takut. Tidak seluruh rasa takut yang kita miliki berfungsi menggagalkan rencana sukses sebab pada dasarnya rasa takut adalah kekuatan (energi) potensial yang kalau diaktualkan dapat mendukung rencana kesuksesan kita. Aktualisasi rasa takut menuntut persyaratan mutlak sebagai pemilik perasaan. Menjadi pemilik rasa takut diperlukan mengasah kecerdasan emosi yang salah satu pilarnya adalah merebut tanggung jawab atas muatan perasaan ketika sedang merasakan sesuatu (proactive). Begitu tanggung jawab kita rebut maka kita bisa mengubah atau memberdayakan rasa takut yang oleh pendapat para pakar memiliki daya dorong tinggi. Ralph Marstone (dalam: Greatday: 1997) mengatakan: “Ada dua motivator dalam diri kita yaitu: motivator menginginkan sesuatu dan menghindari sesuatu. Motivator kedua lebih perkasa mendorong seseorang ketimbang motivator pertama”.

Takut gagal semata karena ingin menghindari berbeda dengan menghindari kegagalan karena menginginkan kesuksesan seperti ketika kita dikejar oleh binatang buas. Karena rasa takutlah yang membuat kita berlari sekencang yang belum pernah kita lakukan. Menghindari kegagalan karena menghindari juga berbeda dengan menghindari untuk mengantisipasi agar kegagalan serupa tidak terjadi lagi dengan mempelajari aspek yang membedakan. Menghindari kegagalan semata karena menghindari pun berbeda dengan menghindari untuk mendorong-membuka kemungkinan peluang. Menghindari takut gagal hanya karena ingin selamat justru akan menjauhkan kita pada kepastian peluang. Takut kehilangan pekerjaan yang diberdayakan dengan mengembangkan diri (dorongan berprestasi) berbeda dengan orang yang dikuasai perasaan takut kehilangan pekerjaan semata.

Dengan memahami perbedaan di atas, kemungkinan besar kita dapat mempercepat proses identifikasi mana rasa takut yang justru mendekte, mengkondisikan, membatasi dan menutup kita untuk segera digantikan dengan muatan perasaan yang kita butuhkan.

Pembelajaran Hidup

Agar fenomena takut sukses jangan semata-mata didasarkan atas keinginan untuk menghindari kegagalan, maka apa yang kita butuhkan adalah menguasai rasa takut agar dapat digunakan sesuai kepentingan kita untuk menginginkan atau menghindar secara positif. Beberapa ide berikut dapat kita jadikan benih-benih kebiasaan hidup yang bisa mengasah kemampuan menguasai rasa takut sukses dalam kondisi hidup normal baik di kantor atau di mana saja

1. Membiasakan diri dengan keberanian berinisitif. Apa pun yang anda lakukan, jalankanlah atas inisiatif dari dalam, bukan karena ajakan orang lain atau karena mengajak orang lain. Keberanian berinisiatif akan memperjelas jawaban bahwa ternyata apa yang kita takuti selama ini bukanlah hal yang menakutkan. Keberanian berinisitif juga akan menanamkan rasa tanggung atas resiko hidup.

2. Membiasakan diri dengan berpegang teguh pada pendirian hidup (to persist) ketika inisiatif bertindak telah kita cetuskan. Apapun yang anda mulai, ketika gagal jangan lantas ditinggalkan meskipun anda tidak melakukan pertahanan di jalur yang sedang “berbadai”. Berhentilah sejenak (to pause) atau berubahlah secara kreatif. Sampai anda bisa berhasil dengan realisasi inisiatif, anda belum pernah akan merasakan rasa percaya diri bahwa diri anda mampu. Dengan pengalaman merasakan sukses, kita akan dibimbing untuk menjauhkan hidup dari pola lama yang didominasi oleh kontrol the perceived self menuju pola baru the real self.

3. Membiasakan diri dengan keberanian menaklukkan tantangan hidup (to conquer challenge) atau memiliki mentalitas “I CAN”. Prestasi hidup tidak dapat diraih kecuali setelah anda berani meyakini bahwa apa yang di dalam diri lebih besar ketimbang tantangan di luar. Mentalitas bangkit demikian merupakan awal menuju realisasi kebangkitan yang sebenarnya. Kebangkitan tidak bisa dimiliki oleh orang yang bermentalitas roboh oleh tantangan. Tepatlah apa yang dikatakan Jim Rohn, kebangkitan finansial seseorang tidak dimulai dari faktor kebangkitan ekonomi tetapi dari faktor kebangkitan filosofi. Hanya saja yang sering kita lakukan adalah menunggu terjadinya kebangkitan ekonomi untuk membangkitkan kemakmuran finansial. Menunggu situasi sempurna dan bebas dari hambatan sebagai syarat untuk berinisiatif, padahal kesempurnaan itu hakekatnya tidak pernah ada kecuali kita ciptakan.

4. Membiasakan diri dengan menambah dukungan eksternal. Tidak selamanya benar kalau dukungan ditafsirkan harus berupa materi. Dalam bisnis misalnya networking atau relationship adalah dukungan. Bahkan dalam dunis bisnis relasi dapat dikatakan sebagai suatu produk (Relationship in business is product). Ketika pebisnis menghadapi ancaman keterbatasan modal material, maka keterbatasan tersebut masih belum menakutkan apabila ia punya cadangan yang saat ini berada di tangan orang lain atau mengenal orang yang bisa diminta bantuan untuk menyelesaikan keterbatasannya atas dasar relationship trust. Maxwell mengatakan: ” Tidak ada problem yang tidak selesai dengan dukungan orang banyak tetapi hanya sedikit yang selesai tanpa dukungan”. Menemukan dukungan eksternal bisa dilakukan dengan mengasah keahlian membuat sinergisasi keunggulan dalam bentuk apapun.

Walhasil, takut sukses adalah fenomena manusiawi dan alamiah atau normal dalam pengertian mayoritas. Kepada kitalah ditawarkan pilihan apakah kita memilih menjadi bagian dari kelompok mayoritas yang berarti gagal atau memilih menjadi bagian kelompok minoritas: orang-orang sukses dengan gagasannya. Selamat memilih.

Cerita Katak Kecil


Pada suatu hari ada segerombol katak-katak kecil yang menggelar lomba lari. Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi.

Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan dan memberi semangat kepada para peserta…...

Perlombaan dimulai…

Tak satupun penonton benar2 percaya bahwa katak2 kecil akan bisa mencapai puncak menara.

Penonton bersorak

“Oh, jalannya terlalu sulitttt!! Mereka TIDAK AKAN PERNAH sampai ke puncak.”

“Tidak ada kesempatan untuk berhasil…Menaranya terlalu tinggi…!!
Katak2 kecil mulai berjatuhan. Satu persatu… … Kecuali mereka yang tetap semangat menaiki menara perlahan- lahan semakin tinggi…dan semakin tinggi..
Penonton terus bersorak
“Terlalu sulit!!! Tak seorangpun akan berhasil!”
Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah… …Tapi ada SATU yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi… Dia tak akan menyerah!
Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak! SEMUA katak kecil yang lain ingin tahu bagaimana katak ini bisa melakukannya?
Seorang peserta bertanya bagaimana cara katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan?
Ternyata…
Katak yang menjadi pemenang itu TULI!!!!
Kata bijak dari cerita ini adalah:
Jangan pernah mendengar orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif ataupun pesimis… karena mereka mengambil sebagian besar mimpimu dan menjauhkannya darimu.
Selalu pikirkan kata2 bertuah yang ada. Karena segala sesuatu yang kau dengar dan kau baca bisa mempengaruhi perilakumu!
Tetaplah selalu…. POSITIVE!
Berlakulah TULI jika orang berkata kepadamu bahwa KAMU tidak bisa menggapai cita-citamu!
Selalu berpikirlah: I can do this!
Berikan motivasi kepada teman-temanmu! Karena teman yang baik adalah teman yang bisa saling memberi motivasi satu sama lain.

Positive Thinking, Negative Thinking, & Right Thinking



"Knowing others is wisdom, knowing yourself is enlightenment. " ~Lao Tzu

Saat memberikan in-house traning di perusahaan penghasil pulp and paper nomor dua terbesar di dunia, yang berbasis di Kerinci, Riau, baru-baru ini, ada peserta yang bertanya. "Pak, sebenarnya apa sih yang menjadi dasar untuk menentukan yang mana masuk positive thinking dan mana yang masuk negative thinking?"

Jujur, saya cukup kaget saat mendapat pertanyaan seperti ini. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya. Namun baru kali ini saya harus berpikir secara mendalam mengenai esensi positive thinking dan negative thinking. Selama ini kita selalu yakin dan percaya bahwa positive thinking adalah pikiran yang "positif" dan "bermanfaat" bagi kita. Sedangkan negative thinking adalah pikiran yang negatif dan merugikan diri kita. Kita mengamini hal ini karena ini yang kita pelajari dari berbagai pembicara terkenal, buku-buku pengembangan diri, dan dari berbagai seminar atau workshop.

Setelah diam sejenak untuk berpikir saya lalu menjawab seperti yang saya tulis pada paragraf di atas, "Pikiran positif adalah pikiran yang bermanfaat sedangkan pikiran negatif adalah pikiran yang merugikan diri kita".

Jawaban saya tampaknya sudah benar. Namun saya sadar bahwa jawaban yang saya berikan masih kurang lengkap. Ada dorongan dalam hati saya untuk memperdalam analisis saya terhadap jawaban yang saya berikan.

Malam hari, saat sendirian di kamar hotel, saya duduk dan memikirkan dengan mendalam pertanyaan yang diajukan peserta tadi siang, "Sebenarnya apa yang menjadi dasar untuk menentukan yang mana masuk positive thinking dan mana yang masuk negative thinking?"

Saat saya merenungkan pertanyaan ini saya langsung teringat dengan berbagai peristiwa yang telah saya alami dalam hidup saya. Saya juga telah mempraktekkan positive thinking. Teman-teman saya juga begitu. Saya teringat pada artikel yang saya tulis yang berjudul "Bahaya Berpikir Positif" yang sempat menjadi kontroversi.

Ternyata positive thinking saja tidak cukup untuk bisa meraih sukses. Positive thinking dan negative thinking masih dipengaruhi oleh persepsi dan keterbatassan pola pikir kita sendiri. Apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang positif ternyata belum tentu positif. Bisa jadi, kita merasa atau yakin pikiran ini positif karena berdasar pada asumsi atau paradigma berpikir yang salah, yang masih dipengaruhi oleh belief system kita, yang kita yakini sebagai hal yang benar. Jadi kita merasa telah berpikir positif atau positive thinking. Padahal belum tentu yang kita lakukan adalah positive thinking.

Kita harus bergerak dari negative thinking ke positive thinking dan akhirnya mencapai right thinking. Mengapa right thinking? Right thinking adalah mengetahui siapa diri kita yang sesungguhnya, apa tujuan hidup kita yang tertinggi, apa misi hidup kita di dunia ini, dan menyelaraskan diri dengan hukum abadi yang mengatur alam semesta. Right thinking juga berarti kita berpikir dengan dasar Kebenaran dan menjadi dasar dari semua proses dan level berpikir lainnya.

Right thinking berasal dari kesadaran akan kebenaran atau dari realitas yang sesungguhnya dari setiap situasi yang kita hadapi. Right thinking membuat kita mampu melihat segala sesuatu apa adanya, tanpa terpengaruh emosi sehingga kita bersikap netral.

Mungkin sampai di sini anda merasa bingung? Ok, saya beri contoh. Misalnya ada orang yang menghina kita. Apa yang kita lakukan? Kalau negative thinking maka kita pasti akan marah besar. Semakin berkobar emosi kita maka akan semakin negatif kita jadinya. Emosi yang dipicu oleh negative thinking ibarat bensin yang disiramkan ke kobaran api. Kita menyalahkan orang yang telah menghina kita. Pokoknya, orang ini yang salah, titik.

Kita, biasanya, akan berusaha mengatasi hal ini dengan menggunakan positive thinking. Apa yang kita lakukan? Kita berusaha berpikir positif, berusaha memaafkan, berusaha mengerti, melakukan reframing, berusaha mengendalikan emosi kita, berusaha mencari hal-hal positif dari kejadian ini.

Bagaimana dengan right thinking? Dengan right thinking kita mencari kebenaran dari apa yang kita alami. Kita harus melampaui belief system kita untuk bisa menggunakan right thinking. Tanyakan kepada diri kita, "Kebenaran apa yang terkandung dalam kejadian ini?"

Saat kita mendapat jawaban dari hati nurani kita dan kita melakukan tindakan berdasar jawaban yang kita peroleh maka pada saat itu kita telah menggunakan right thinking.

Right thinking berarti kita menyadari sepenuhnya bahwa kita bukanlah pikiran kita. Kita adalah yang menggerakkan pikiran kita. Kita mencipta realita hidup kita. Kita bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang kita alami, hal yang baik maupun yang buruk.

Saat seseorang menghina kita, apakah benar bahwa "kita" yang dihina? Coba tanyakan pada diri kita secara jujur. "Sebenarnya siapa sih yang dihina? Apakah benar saya dihina? Bagian mana dari diri saya yang merasa dihina?"

Kalau kita menggunakan right thinking maka kita sadar bahwa sebenarnya kita tidak dihina. Tidak ada seorang pun yang bisa menghina kita. Yang sebenarnya terjadi adalah kita telah memberikan makna terhadap kejadian itu, berdasar pada asumsi, persepsi, pengalaman hidup di masa lalu, belief system, dan value kita, yang mengakibatkan munculnya emosi negatif. Eleanor Roosevelt dengan sangat bijak berkata, "No one can make you feel inferior without your consent."

OK, anda mungkin berkata, "Lha, tapi kita kan tetap tersinggung karena dihina." Kalau anda tetap bersikeras dengan pendapat ini, baiklah, ijinkan saya mengajukan satu pertanyaan pada anda, "Siapakah yang tersinggung atau merasa terhina? Aku? Saya? Aku yang mana? Bagian mana dari diri saya yang tersinggung? "

Kalau kita mau jujur maka yang sebenarnya "kena" adalah perasaan kita. Pertanyaan selanjutnya adalah, "Apakah perasaan kita sama dengan diri kita? Apakah perasaan kita adalah diri kita?" Tentu tidak. Perasaan, sama dengan pikiran, akan selalu timbul dan tenggelam, tidak abadi, dan sudah tentu bukan diri kita.[]

Sumber: Positive Thinking, Negative Thinking, & Right Thinking oleh Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pembicara publik dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri.

Kerja Keras, Sampai Kapan?




Teknologi membuat semua orang yang saya kenal bekerja lebih keras dan lebih lama. – Wareen Bennis

"Apa arti kerja keras bagi Anda?" tanya saya kepada sejumlah kawan. "Kerja keras berarti datang ke tempat kerja paling pagi dan pulang paling malam, tapi tetap sehat dan optimis" jawab Didi yang pengusaha. "Kerja yang mengandalkan kekuatan diri sendiri, terutama yang bersifat fisik, untuk mencapai suatu tujuan atau hasil yang diinginkan," ujar Elly yang dosen perguruan tinggi. "Kerja keras itu wajib untuk mencapai hasil maksimal," jawab Wawan yang tentara. "Cara kerja yang harus dilalui sebelum orang mampu bekerja dengan cerdas dan kreatif. Orang tidak bisa menemukan cara-cara cerdas bila ia belum pernah bekerja keras," urai Agung yang pegawai.

***

Pernahkah Anda menghitung, berapa jam biasanya waktu yang Anda pergunakan untuk bekerja mencari nafkah hidup dalam seminggu? Jawabannya mungkin akan bervariasi, tergantung pada jenis pekerjaan atau profesi yang Anda jalankan. Coba bayangkan profesi-profesi berikut: pengacara, dokter, notaris, pilot, hakim, jaksa, petani, pedagang, manajer/ekskutif, konsultan, model iklan, pemain film dan sinetron. Manakah diantara mereka yang menurut Anda bekerja paling keras untuk menafkahi hidupnya? Bagaimana dengan pegawai swasta dan pegawai negeri pada umumnya? Siapakah yang jam kerja rata-rata per minggunya paling panjang? Bagaimana dengan pengajar sekolah, buruh- buruh pabrik, kuli angkut, dan pekerja di pusat-pusat pembelanjaan modern yang baru pulang setelah pukul 9 malam? Manakah yang paling banyak mengucurkan keringat?

Ada asumsi bahwa orang-orang yang harus bekerja lebih dari 45 jam per minggu adalah kaum pekerja kasar yang tak terpelajar. Jam kerja mereka panjang, dan proses kerjanya lebih mengandalkan keterampilan fisik/otot, sehingga upahnya serba minimum. Mereka yang terpelajar, kaum profesional dan para sarjana lulusan universitas terkemuka yang menjadi manajer-manajer di usia belia, adalah orang-orang yang seharusnya memiliki waktu kerja pendek karena mampu bekerja dengan lebih cerdas. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat mengagumkan dalam satu dekade terakhir, kelompok terpelajar yang bekerja mengandalkan otak diasumsikan akan memerlukan waktu kerja yang relatif minimum, kurang dari 40 jam per minggu. Sebab, bukankah orang-orang yang cerdas dengan perangkat teknologi mutakhir seharusnya tidak perlu bekerja keras seperti nenek moyang mereka (dan kita) dulu?

Masalahnya, di sekolah kehidupan kita kemudian menyaksikan kenyataan yang lain. Seperti dilaporkan BusinessWeek edisi Oktober 2005 lalu, dalam konteks Amerika jumlah para "budak kerja" itu cukup mencengangkan. Lebih dari 31% pekerja pria lulusan perguruan tinggi di Amerika Serikat lazim bekerja 50 jam atau lebih dalam sepekan di kantor, naik dari 22% di tahun 1980, ketika teknologi informasi belum canggih seperti dewasa ini. National Sleep Fondation melaporkan bahwa sekitar 40% orang dewasa Amerika tidur kurang dari 7 jam pada hari kerja. Padahal sejak 1926 Henry Ford telah mempelopori lima hari kerja dalam sepekan, dan sejak 1970 di Amerika berlaku waktu kerja 40 jam seminggu. Lalu bagaimana menjelaskan kecenderungan pekerja terpelajar Amerika dewasa ini yang malah menghabiskan waktu kerja seperti para buruh pabrik di abad ke-19, yang rata-rata bekerja 60 jam per minggu?

Pekerja Amerika tidak sendirian. Di Cina, para manajer senior dengan pendapatan $ 2.000 AS ---dengan kurs Rp 9.500,- berarti Rp 19 juta--- sebulan umumnya bekerja 6o jam, enam hari seminggu. Meski sekitar 20 jam diantaranya terhitung lembur, tapi mereka tidak mendapatkan upah tambahan dari kerja ekstra itu. Umumnya, kaum pekerja keras itu mengaku tak punya pilihan kecuali lembur dan menganggap hal itu memang sudah menjadi tugas mereka, sehingga memang tidak perlu upah tambahan. Disebutkan bahwa sedikitnya di tiga kota Cina, 51% orang yang lembur selama hari kerja tak mendapat upah tambahan---suatu hal yang tidak terjadi pada rekan-rekan mereka di Jepang dan Korea Selatan. Pada hal UU Ketenagakerjaan di Cina telah menetapkan jam kerja 44 jam seminggu, dalam lima hari kerja, dengan cuti tahunan dua minggu, hari libur rutin, dan upah lembur minimal satu setengah kali upah normal. Kenyataannya peraturan semacam itu tak mampu membendung tumbuhnya kelompok "budak kerja" di negeri tirai bambu tersebut. Hanya pegawai negeri saja, seperti pengajar sekolah, yang menghabiskan waktu kerja 40 jam seminggu dengan penghasilan sekitar $ 200 AS sebulannya.

Hal lain yang juga menarik untuk disimak adalah laporan tentang jumlah jam kerja wanita karier di Amerika dan Eropa yang diwakili oleh 15 negara Uni Eropa. Pada tahun 1984, di Amerika sekitar 58% wanita karier yang menghabiskan waktu kerja lebih dari 40 jam seminggu. Jumlahnya meningkat di tahun 2004 menjadi sekitar 62%. Sementara di Eropa, hanya sekitar 36% wanita karier yang menghabiskan waktu kerja di atas 40 jam seminggu, tahun 1984. Dan di tahun 2004 jumlahnya turun menjadi sekitar 29%. Apakah itu berarti wanita karier di Amerika bekerja semakin keras hari-hari ini, sementara rekan-rekan mereka di Eropa lebih punya waktu untuk hal lain di luar pekerjaan? Tak ada penjelasan lebih lanjut soal hal ini. Yang jelas, dalam sebuah wawancara, perempuan Amerika yang cerdas dan fenomenal Oprah Winfrey pernah mengaku bahwa ia biasa bekerja 14-15 jam sehari, dan bila hanya bekerja 12 jam sehari, ia merasa ada sesuatu yang kurang hari itu.

Pemaparan data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa tidaklah benar asumsi yang mengatakan bahwa hanya orang yang tidak bergelar dan ***** saja yang dituntut bekerja keras menafkahi hidupnya. Kenyataannya, orang-orang yang paling terpelajar di negeri yang maju seperti Amerika, maupun yang bermukim di negeri berkembang macam Cina, justru tetap bekerja keras untuk menafkahi hidupnya. Asumsi yang mengatakan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi kaum pekerja akan lebih santai dalam melakukan pekerjaannya juga patut digugat kembali. Sebab kenyataannya para sarjana yang paling melek dan menguasai teknologi informasi mutakhir saja tidak bekerja lebih santai dibanding orang-orang yang relatif buta teknologi informasi.

Jadi, bekerja keras dalam arti bekerja lebih lama dari aturan kerja yang berlaku secara formal---misalnya, lima hari kerja, 40 jam seminggu---dengan menggunakan kemampuan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup sehari-hari, agaknya sudah menjadi kecenderungan yang sulit dibendung. Semakin banyak pekerja merasa memang begitulah seharusnya, terutama ketika mereka menginginkan karier dan kehidupan yang lebih baik. Kerja keras seolah-olah menjadi jalan satu-satunya. Hal ini tentu tidak terlalu perlu dipersoalkan jika kita memiliki pekerjaan yang kita senangi, pekerja yang sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita, dan pekerjaan yang memberikan hasil-hasil terbaik, baik kepada kita maupun kepada masyarakat dan lingkungan dimana kita mengabdi. Seperti Oprah Winfrey yang menemukan "tempatnya" yang unik di dunia ini, ia mungkin melakukan pekerjaannya tanpa merasa "bekerja".

Masalahnya, bagaimana jika pekerjaan yang kita miliki saat ini bukanlah pekerjaan yang kita inginkan? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita miliki saat ini adalah pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi terbaik kita? Bagaimana kalau pekerjaan kita saat ini adalah pekerjaan yang tidak menumbuhkan rasa bangga dalam diri kita? Bagaimana kalau pekerjaan yang kita tekuni saat ini adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih? Terhadap empat pertanyaan terakhir ini saya akan menjawab dengan satu pertanyaan berikut: sampai kapan Anda bersedia bekerja keras untuk jenis pekerjaaan seburuk itu?

Tabik Mahardika!

Sumber: Kerja Keras, Sampai Kapan? oleh Andrias Harefa.

 
FaceBlog © Copyright 2009 MR-Community | Blogger XML Coded And Designed by Edo Pranata | Blogger Templates